Showing posts with label katanya profesional??. Show all posts
Showing posts with label katanya profesional??. Show all posts
Friday, 21 March 2014
Saturday, 8 March 2014
Ini Dia Cita-Cita Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini Jika Pensiun Dari Walikota Surabaya
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengungkapkan cita-citanya untuk
menjadi dosen atau guru selepasnya ia menjadi wali kota nanti. Sambil
bercanda, Risma mengatakan ingin melakukan hal sebaliknya dengan Wali
Kota Bandung Ridwan Kamil yang dari dosen menjadi wali kota.
Hal itu disampaikan Risma saat ditanya mahasiswa dalam acara Dialog Kebangsaan 'Gelombang Baru Nasionalisme: Dari Daerah Membangun Indonesia' di Aula Barat ITB, Sabtu (8/3/2014).
"Nanti kalau sudah enggak jadi wali kota, saya mau tukeran dengan Ridwan Kamil saja. Ridwan Kamil (dari dosen) jadi wali kota, saya nanti malah mau jadi dosen atau guru. Guru SD, SMP atau SMA-lah," ujar Risma.
Seperti diketahui, sebelum menjadi Wali Kota Bandung Ridwan Kamil merupakan seorang arsitektur yang juga menjadi dosen di ITB. Emil, begitu Ridwan Kamil akrab disapa juga datang dalam dialog yang dihadiri Risma.
Ia mengatakan, selama menjadi wali kota dirinya pun sudah sering mengajar. Risma mengaku lebih memilih mengajar dengan sasaran anak-anak SMP.
"Karena anak-anak SMP ini secara fisik sudah besar, tapi mentalnya masih banyak kegoda," katanya.
Ia mencontohkan anak-anak SMP banyak yang terjebak dengan media sosial hingga melakukan perbuatan negatif.
"Ada yang foto-foto telanjang, itu tuh mereka pada enggak ngerti," tutur Risma.
Acara dialog ini diikuti oleh ratusan mahasiswa yang begitu antusias bertanya pada dua wali kota yang akhir-akhir ini menjadi sorotan karena aksi-aksinya.
sumber : http://news.detik.com/bandung/read/2014/03/08/134159/2519828/486/jika-pensiun-wali-kota-surabaya-tri-rismaharini-ingin-jadi-guru-smp?991101mainnews
Hal itu disampaikan Risma saat ditanya mahasiswa dalam acara Dialog Kebangsaan 'Gelombang Baru Nasionalisme: Dari Daerah Membangun Indonesia' di Aula Barat ITB, Sabtu (8/3/2014).
"Nanti kalau sudah enggak jadi wali kota, saya mau tukeran dengan Ridwan Kamil saja. Ridwan Kamil (dari dosen) jadi wali kota, saya nanti malah mau jadi dosen atau guru. Guru SD, SMP atau SMA-lah," ujar Risma.
Seperti diketahui, sebelum menjadi Wali Kota Bandung Ridwan Kamil merupakan seorang arsitektur yang juga menjadi dosen di ITB. Emil, begitu Ridwan Kamil akrab disapa juga datang dalam dialog yang dihadiri Risma.
Ia mengatakan, selama menjadi wali kota dirinya pun sudah sering mengajar. Risma mengaku lebih memilih mengajar dengan sasaran anak-anak SMP.
"Karena anak-anak SMP ini secara fisik sudah besar, tapi mentalnya masih banyak kegoda," katanya.
Ia mencontohkan anak-anak SMP banyak yang terjebak dengan media sosial hingga melakukan perbuatan negatif.
"Ada yang foto-foto telanjang, itu tuh mereka pada enggak ngerti," tutur Risma.
Acara dialog ini diikuti oleh ratusan mahasiswa yang begitu antusias bertanya pada dua wali kota yang akhir-akhir ini menjadi sorotan karena aksi-aksinya.
sumber : http://news.detik.com/bandung/read/2014/03/08/134159/2519828/486/jika-pensiun-wali-kota-surabaya-tri-rismaharini-ingin-jadi-guru-smp?991101mainnews
Friday, 13 December 2013
Mayat Korban Pelonco ITN Mengeluarkan Sperma
Nurhadi mengaku melihat mata almarhum berlumuran darah. Selain itu, keterangan yang tertuang dalam visum yang dikeluarkan kedokteran forensik RSSA Malang juga menyebutkan lidah almarhum menjulur tergigit, sedangkan kelaminnya mengeluarkan sperma.
Anehnya, “dokter forensik tak menemukan tanda kekerasan,” kata Nurhadi saat ditemui Tempo di rumahnya, Kelurahan Arjosari, Kota Malang, Kamis, 12 Desember 2013.
"Dokter pun menyimpulkan Fikri meninggal karena kelelahan," kata Nurhadi.
Keluarga tak memprotes, katanya, karena ITN pun menegaskan tak ada kekerasan selama Kemah Bakti Desa (KBD) di Gua Cina Dusun Rowotrate, Desa Sitiarjo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Oktober lalu.
Jenasah disemayamkan dan disalatkan di Yayasan Gotong Royong sebelum diberangkatkan ke Mataram, Nusa Tenggara Barat. Usai pemakaman, Nurhadi menggaku menerima telepon dari teman Fikri sesama mahasiswa ITN Malang. Mereka menceritakan jika terjadi kekerasan selama kemah.
Sejak saat itu, keluarga korban menuntut pertanggungjawaban ITN Malang atas dugaan kekerasan selama kemah. Namun, sampai saat ini tak ada tindaklanjut dari manajemen ITN. Orang tua korban, Muchsin dan Khusnul Fikhiyah, semakin yakin anaknya menjadi korban kekerasan setelah muncul pemberitaan di media massa. "Kakak saya menuntut kasus ini diungkap," katanya.
Fikri, mahasiswa Jurusan Planologi ITN angkatan 2013, tewas setelah mengikuti orientasi Kemah Bakti Desa yang dilaksanakan di Gua Cina Dusun Rowotrate, Desa Sitiarjo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Oktober lalu. Dugaan sementara, Fikri meninggal akibat kelelahan. Namun, rekan dan keluarga Fikri menduga almarhum meninggal akibat tindak kekerasan.
sumber : tempo.co
Thursday, 12 December 2013
Bentuk Perploncoan Mahasiswa Baru ITN Yang Berujung Meninggalnya Fikri
Satu per satu korban kekerasan dalam peloncoan mahasiswa jurusan
Planologi Institut Teknologi Nasional (ITN) angkatan tahun 2013 mulai
berbicara. Salah satu mahasiswa yang ikut proses peloncoan di ITN itu
menuturkan, mereka mengalami banyak kekerasan. Peloncoan itu dilakukan
selama Kemah Bakti Desa (KBD) di Gua China, Malang.
"Ada kekerasan, diinjak, disuruh makan bawang. Ada teman yang wajahnya melempuh karena disiram air bawang," kata Joko.
Ada juga sanksi yang tidak masuk akal, yakni sebelum makan, mereka dipaksa membenamkan tangan ke dalam debu. Jika telapak tangan belum kotor, panitia menginjak kaki mereka. Lantas, mereka dipaksa makan menggunakan tangan yang kotor dipenuhi debu.
Setiap peserta, kata Joko, mengalami kekerasan yang sama. Bahkan mereka juga dihukum push up sambil diinjak. Sehingga mereka kesulitan untuk melakukan gerakan push up. Puncaknya, pada Rabu malam 11 Oktober 2012 seluruh peserta diminta berdiri membelakangai Fikri yang diapit petugas keamanan peloncoan ITN.
"Terdengar teriakan kesakitan. Fikri mengerang kesakitan," katanya. Fikri diduga menjadi incaran keamanan KBD karena ia dianggap vokal dan menyatakan akan membela dan membebaskan teman-temannya.
sumber : tempo.co
"Ada kekerasan, diinjak, disuruh makan bawang. Ada teman yang wajahnya melempuh karena disiram air bawang," kata Joko.
Ada juga sanksi yang tidak masuk akal, yakni sebelum makan, mereka dipaksa membenamkan tangan ke dalam debu. Jika telapak tangan belum kotor, panitia menginjak kaki mereka. Lantas, mereka dipaksa makan menggunakan tangan yang kotor dipenuhi debu.
Setiap peserta, kata Joko, mengalami kekerasan yang sama. Bahkan mereka juga dihukum push up sambil diinjak. Sehingga mereka kesulitan untuk melakukan gerakan push up. Puncaknya, pada Rabu malam 11 Oktober 2012 seluruh peserta diminta berdiri membelakangai Fikri yang diapit petugas keamanan peloncoan ITN.
"Terdengar teriakan kesakitan. Fikri mengerang kesakitan," katanya. Fikri diduga menjadi incaran keamanan KBD karena ia dianggap vokal dan menyatakan akan membela dan membebaskan teman-temannya.
sumber : tempo.co
Wednesday, 11 December 2013
Slamet Suradio, Saksi Hidup tragedi Bintaro 1 (1987)
Slamet Suradio bukan saja merupakan salah satu saksi hidup tragedi bintaro I, akan tetatpi dia juga merupakan masinis salah satu kereta yang mengalami tabarakan dalam tragedi bintaro I.
Tragedi Bintaro I adalah peristiwa tabrakan hebat dua buah kereta api di daerah Pondok Betung, Bintaro, Tangerang, pada tanggal 19 Oktober 1987 yang merupakan kecelakaan terburuk dalam sejarah perkeretaapian diIndonesia. Peristiwa ini juga menyita perhatian publik dunia.
Sebuah kereta api yang berangkat dari Rangkasbitung, bertabrakan dengan kereta api yang berangkat dari Stasiun Tanah Abang. Peristiwa ini tercatat sebagai salah satu musibah paling buruk dalam sejarah transportasi diIndonesia.
19 Oktober 1987, KA 225 (Rangkasbitung-Jakarta Kota) yang dimasinisi Slamet Suradio bertabrakan secara frontal dengan KA 220 (Tanah Abang-Merak) di kawasan Bintaro, Tangerang.
Akibatnya, 156 orang tewas mengenaskan dan sekitar 300 korban lain mengalami luka-luka.
Penyelidikan setelah kejadian menunjukkan adanya kelalaian petugas Stasiun Sudimara yang memberikan Sinyal aman bagi kereta api dari arah Rangkasbitung, padahal tidak ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran. Hal ini dilakukan karena penuhnya jalur di stasiun Sudimara.
Slamet lalu ditetapkan sebagai salah seorang tersangka dalam insiden tersebut. Dia akhirnya divonis lima tahun penjara. Dia dianggap bersalah. Selain Slamet menjalani hukuman di balik terali besi, karir sebagai masinis langsung mandek. Dia diberhentikan dari pekerjaan itu. Setelah menuntaskan hukuman, dia memilih pulang ke kampung halaman di Purworejo.
Slamet kini tinggal di sebuah rumah sederhana di Dusun Krajan Kidul, RT 02/RW 02 Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo. Dia menghabiskan sisa hidupnya dalam kemiskinan dengan berjualan rokok eceran di rumah itu.
"Hingga kini saya masih sering trauma dan miris jika mendengar kabar kecelakaan kereta api. Sebagai mantan masinis, saya bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh seorang masinis yang mendapatkan musibah hebat seperti itu," kenang dia.
Kronologi Tabrakan Kereta (Tragedi Bintaro I)
Lelaki lanjut usia itu masih mampu mengingat dengan jelas detail tragedi Bintaro yang melibatkan dirinya. Slamet mengisahkan, tragedi Bintaro terjadi Senin Pon, 19 Oktober 1987, pukul 07.30. Saat kejadian, Slamet berada di lokomotif KRD 225.
Kecelakaan terjadi di antara Stasiun Pondokranji dan Pemakaman Tanah Kusir, Sebelah Utara SMUN 86 Bintaro. Di dekat tikungan melengkung Tol Bintaro, tepatnya di lengkungan S, berjarak kurang lebih 200 m setelah palang pintu Pondok Betung dan ± 8 km sebelum Stasiun Sudimara.
Peristiwa bermula atas kesalahan kepala stasiun Serpong memberangkatkan KA 225 ke Stasiun Sudimara, tanpa mengecek kepenuhan jalur KA di Stasiun Sudimara. Sehingga, ketika KRD no.KA 225, jurusan Rangkasbitung-Jakarta Kota, tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 6:45 WIB, stasiun Sudimara yang punya 3 jalur saat itu penuh dengan KA.
Selang 5 menit kemudian, Djamhari, petugas PPKA Stasiun Sudimara menerima telepon dari Umrihadi, Petugas PPKA stasiun Kebayoran Lama yang mengabarkan KA no.220 jurusan Tanahabang-Merak sudah berangkat menuju Sudimara. Kemudian Djamhari mengejar KA 225 dengan berlari sambil mengibarkan bendera merah.
Tak ayal kecepatan KA di atas 50 km/jam tidak mampu dikejar Djamhari. Dua kereta api yang sama-sama sarat penumpang, Senin pagi itu bertabrakan di lokasi ± Km 18.75. Kedua kereta hancur, terguling dan ringsek. Kedua lokomotif dengan seri BB 30316 dan BB 30616 rusak berat. Jumlah korban jiwa ± 156 orang, dan ratusan penumpang lainnya luka-luka.
Bencana di Atas Ka 225 dari Rangkasbitung bertabrakan dengan KA 220 dari Jakarta di Pondok Betung, Jak-Sel. Lebih dari 100 korban meninggal. Kedua gerbong terdepan meluncur menelan kedua lokomotif yang berciuman.
TIBA-tiba Wartini berteriak, “Kereta… kereta….” Semua pembeli lontong di warung wanita bertubuh gemuk itu menoleh ke belakang, ke arah rel 30-an meter di depan. Dua kereta api masing-masing sarat penumpang melaju dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi. Dan, “glegarrr,” tanah di sekitar warung pun bergetar. Wartini menjerit, “Astagfirullah …,” lalu ia jatuh pingsan. Orang-orang pun berdatangan, terkesima, kaget, tak percaya, ngeri.
Di Desa Pondok Betung, 4 km dari stasiun Kebayoran Lama, kawasan pinggir barat Jakarta Selatan, musibah itu terjadi. Pagi, pukul 07.05, 19 Oktober, Senin pekan ini. Seketika daerah itu menjadi ramai. Ramai oleh mereka yang dengan sukarela mencari alat apa saja untuk menolong korban bencana kereta api terbesar sepanjang sejarah perkeretaapian di Indonesia. Dan pemandangan di sekitar titik tubrukan sungguh mirip mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan.
Di titik itulah KA 225 dari Rangkasbitung, Jawa Barat, dengan sekitar 700 penumpang adu kepala dengan kereta api KA 220 yang membawa 500-an penumpang yang datang dari stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat. Jumlah penumpang itu diperoleh dari sumber PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api). Artinya, belum terhitung penumpang gelap yang biasa berjejal, menempel di pinggiran lokomotif atau bertengger di atap gerbong-gerbong bercat hijau itu.
Sampai Senin tengah hari sudah lebih dari 100 korban yang meninggal dunia, 300-an orang luka berat dan ringan. Jumlah ini pasti bertambah, karena di dalam gerbong yang ringsek masih 20-an korban meninggal tapi belum bisa dikeluarkan.
Tertindih besi-besi yang tak keruan lagi malang-melintangnya, seorang ayah dan anak laki-lakinya berumur 10-an tahun tampak masih bernapas. “Saya belum akan pulang sampai dua orang itu jelas nasibnya,” kata Kapolda Poedy Syamsudin, yang langsung berada di tempat musibah.
Tujuh rumah sakit terdekat — RS Fatmawati, RS Setia Mitra, RS TNI-AL Mintoharjo, RS Pertamina, RS Pondok Indah, RS Jakarta, dan RS Cipto Mangunkusumo — menjadi tempat penampungan. Hari itu juga Presiden Soeharto mengunjungi para korban di RS Cipto Mangunkusumo.
Darah berceceran, di beberapa tempat menggenang. Potongan tubuh manusia berserakan. Di sebuah gerbong ditemukan potongan kaki dan tangan berselemak darah, entah tubuhnya berada di mana. Bau amis menyengat hidung. Raungan, jeritan, dan tangis korban yang masih dikaruniai hidup mengiris hati.
Di sebuah atap gerbong, seorang lelaki setengah baya terjepit dan putus asa. “Pooo…tong saja kaki saya,” pintanya dengan sengsara kepada sejumlah petugas yang mencoba menolongnya. Tak berapa lama si malang mengembuskan napas terakhirnya.
Tiga anak berumur sekitar lima tahun diketahui bernama Juned, Aswadi, dan Makmur, yang juga terjepit tak menjerit. “Minta air, Om,” kata salah seorang di antaranya kepada seorang polisi. Ketiganya baru bisa dikeluarkan pukul 20.00, lebih dari 12 jam kemudian.
Ketika matahari mulai menyengat, korban yang masih hidup, tubuh-tubuh yang menyembul di antara gerbong, dipayungi dengan kertas koran.
Siang itu sebuah lokomotif didatangkan untuk menyeret gerbong yang saling menjepit. Tapi rencana dibatalkan karena khawatir puluhan korban yang tergencet di dalam akan tambah remuk. “Selama masih ada yang hidup, gerbong itu tidak boleh digerakkan sampai kapan pun,” kata Menteri Perhubungan Rusmin Nurjadin di lokasi kecelakaan, Senin sore.
Begitu dahsyatnya tabrakan itu hingga dua gerbong terdepan dari KA 225 meluncur menelan kedua lokomotif yang berciuman, seakan ular menelan tikus. Di kedua gerbong inilah banyak korban tergencet, bak daging tercincang. Normalnya, kedua gerbong berkapasitas 166 penumpang. Kenyataannya, tentulah lebih dari itu. Gergaji besi mesin dan mesin pengelas didatangkan guna membongkar gerbong.
Sementara itu, bangku-bangku kereta yang berserakan dijadikan tandu untuk mengangkuti korban ke balai desa 200-an meter dari tempat itu. Mayat-mayat dijejerkan menunggu puluhan ambulans yang sibuk. Sejumlah mobil pribadi ikut membantu.
Helikopter polisi meraung-raung mengawasi keadaan dan siap mengangkut korban yang kritis. Beberapa sekolah SMP dan SMA di dekat tempat kejadian diliburkan, siswanya dikerahkan membantu.
Apa yang sebenarnya terjadi? Bertahun, mungkin berpuluh tahun, jalur kereta api di situ aman. Wartini, penjual lontong, saksi mata itu, pun heran, “Biasanya kereta api dari Rangkasbitung menunggu dulu di Sudimara. Saya heran kali ini kok dia jalan terus,” kata pemilik rumah di tepi rel itu.
Penumpang kereta dari Rangkasbitung yang berangkat pukul 05.00 subuh paling banyak pedagang kecil dan anak-anak sekolah. Biasanya kereta ini berhenti di stasiun Sudimara pada pukul 06.40, menunggu kereta dari Tanah Abang, yang biasanya melintas sembilan menit kemudian.
Menurut catatan yang diperoleh TEMPO, di hari maut itu KA 225 seperti biasa menunggu di Sudimara. Tapi KA 220 yang ditunggu tak juga datang. Mestinya — kalau semua berjalan sesuai dengan jadwal — pada pukul 06.50, KA 225 sudah meninggalkan Sudimara menuju Tanah Abang. Setelah menunggu sampai 06.55 dan kereta dari Tanah Abang tak juga nongol, maka bergeraklah kereta dari Rangkasbitung itu.
Memang, KA 220 terlambat 11 menit dengan sebab yang belum jelas. Stasiun Kebayoran Baru dilewatinya seperti biasanya. Seandainya rel kereta di 4 km kemudian tak menikung, bisa jadi tubrukan tak sedahsyat yang terjadi. Tapi siapa menduga pagi itu maut telah menunggu? Tiba-tiba saja, begitu kereta menikung, di depan sudah terlihat KA 225 meluncur, dan….
Pengusutan, seperti dikatakan Menteri Rusmin Nurjadin, difokuskan pada “Entah mengapa KA 225 meneruskan perjalanannya dari Sudimara”. Hal itu disebut Menteri sebagai suatu “kelainan” dan sedang diusut oleh Gappka (Gabungan Penyelidikan Peristiwa Kecelakaan Kereta Api). Hari itu juga Menteri Rusmin memerintahkan agar seluruh jadwal perjalanan kereta api di Indonesia dicek, tanpa kecuali.
Menurut sumber TEMPO, petugas di Sudimara tak pernah memberikan aba-aba berangkat pada KA 225. Padahal, tanpa aba-aba dari pimpinan perjalanan kereta api berupa tiupan peluit dan lambaian sinyal kayu bundar berwarna hijau — kereta api dilarang berangkat.
Adalah Ir. Endang Sukaesih, 27 tahun penduduk perumahan Pondok Pucung, Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang, agaknya bisa sedikit menjelaskan. Pagi itu, pegawai Badan Pemeriksa Keuangan yang biasanya naik KA 225 itu terlambat. Dia mencoba mengejar kereta yang mulai berjalan.
Seorang petugas stasiun berteriak, “Tak usah buru-buru, kereta cuma langsir.” Endang berhenti mengejar. Tapi kereta ternyata terus melaju meninggalkan stasiun. Semula Endang ingin marah, merasa ditipu. Urung, karena melihat petugas stasiun sendiri kalang-kabut. Ada yang berkata “Wah, ini bisa tabrakan.” Endang melihat seorang petugas mengejar kereta itu dengan sepeda motor. Tak berhasil. Siangnya, Endang mendengar musibah kereta api itu. Dia kontan pingsan.
Tak jelas, setelah gagal mengejar kereta, adakah Sudimara menghubungi stasiun pertama yang akan dilewati KA 225 itu. Harap dicatat stasiun kereta api itu masih berada di wilayah Jakarta, tapi masih memakai telegram sebagai alat komunikasi antarstasiun. Tak ada hubungan telepon. “Faktor itu kemungkinan menghambat komunikasi,” kata Haji Burhanuddin Wahab, Humas Departemen Perhubungan.
Mudah-mudahan, semua itu tak akan sulit diungkapkan. Masinis Amung Sunarya dan pembantunya Mujiono dari KA 225, juga masinis KA 220, Selamet dan pembantunya Saleh, selamat dari musibah. Diduga mereka meloncat dari lokomotif sebelum tabrakan terjadi. Mereka sekarang dimintai keterangan oleh Gappka.
Tinggal pertanyaan yang susah dijawab. Mengapa dalam tiga hari terjadi musibah dengan korban cukup besar: kebakaran dan tubrukan kereta.
sumber : http://charleskkb.blogspot.com; http://indocropcircles.wordpress.com; http://wikewidiawati.wordpress.com; http://www.jpnn.com
Tragedi Bintaro I adalah peristiwa tabrakan hebat dua buah kereta api di daerah Pondok Betung, Bintaro, Tangerang, pada tanggal 19 Oktober 1987 yang merupakan kecelakaan terburuk dalam sejarah perkeretaapian diIndonesia. Peristiwa ini juga menyita perhatian publik dunia.
Sebuah kereta api yang berangkat dari Rangkasbitung, bertabrakan dengan kereta api yang berangkat dari Stasiun Tanah Abang. Peristiwa ini tercatat sebagai salah satu musibah paling buruk dalam sejarah transportasi diIndonesia.
19 Oktober 1987, KA 225 (Rangkasbitung-Jakarta Kota) yang dimasinisi Slamet Suradio bertabrakan secara frontal dengan KA 220 (Tanah Abang-Merak) di kawasan Bintaro, Tangerang.
Akibatnya, 156 orang tewas mengenaskan dan sekitar 300 korban lain mengalami luka-luka.
![]() |
BB 30609 (kiri) bersama BB 30316 (kanan) yang terlibat tabrakan |
Penyelidikan setelah kejadian menunjukkan adanya kelalaian petugas Stasiun Sudimara yang memberikan Sinyal aman bagi kereta api dari arah Rangkasbitung, padahal tidak ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran. Hal ini dilakukan karena penuhnya jalur di stasiun Sudimara.
Slamet lalu ditetapkan sebagai salah seorang tersangka dalam insiden tersebut. Dia akhirnya divonis lima tahun penjara. Dia dianggap bersalah. Selain Slamet menjalani hukuman di balik terali besi, karir sebagai masinis langsung mandek. Dia diberhentikan dari pekerjaan itu. Setelah menuntaskan hukuman, dia memilih pulang ke kampung halaman di Purworejo.
Slamet kini tinggal di sebuah rumah sederhana di Dusun Krajan Kidul, RT 02/RW 02 Desa Gintungan, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo. Dia menghabiskan sisa hidupnya dalam kemiskinan dengan berjualan rokok eceran di rumah itu.
"Hingga kini saya masih sering trauma dan miris jika mendengar kabar kecelakaan kereta api. Sebagai mantan masinis, saya bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh seorang masinis yang mendapatkan musibah hebat seperti itu," kenang dia.
Kronologi Tabrakan Kereta (Tragedi Bintaro I)
Lelaki lanjut usia itu masih mampu mengingat dengan jelas detail tragedi Bintaro yang melibatkan dirinya. Slamet mengisahkan, tragedi Bintaro terjadi Senin Pon, 19 Oktober 1987, pukul 07.30. Saat kejadian, Slamet berada di lokomotif KRD 225.
Kecelakaan terjadi di antara Stasiun Pondokranji dan Pemakaman Tanah Kusir, Sebelah Utara SMUN 86 Bintaro. Di dekat tikungan melengkung Tol Bintaro, tepatnya di lengkungan S, berjarak kurang lebih 200 m setelah palang pintu Pondok Betung dan ± 8 km sebelum Stasiun Sudimara.
Peristiwa bermula atas kesalahan kepala stasiun Serpong memberangkatkan KA 225 ke Stasiun Sudimara, tanpa mengecek kepenuhan jalur KA di Stasiun Sudimara. Sehingga, ketika KRD no.KA 225, jurusan Rangkasbitung-Jakarta Kota, tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 6:45 WIB, stasiun Sudimara yang punya 3 jalur saat itu penuh dengan KA.
- KA 225 di jalur 1.
- KA Indocement hendak ke arah Jakarta juga, di jalur 2.
- Di jalur 3 ada KA barang tanpa lokomotif.
Selang 5 menit kemudian, Djamhari, petugas PPKA Stasiun Sudimara menerima telepon dari Umrihadi, Petugas PPKA stasiun Kebayoran Lama yang mengabarkan KA no.220 jurusan Tanahabang-Merak sudah berangkat menuju Sudimara. Kemudian Djamhari mengejar KA 225 dengan berlari sambil mengibarkan bendera merah.
Tak ayal kecepatan KA di atas 50 km/jam tidak mampu dikejar Djamhari. Dua kereta api yang sama-sama sarat penumpang, Senin pagi itu bertabrakan di lokasi ± Km 18.75. Kedua kereta hancur, terguling dan ringsek. Kedua lokomotif dengan seri BB 30316 dan BB 30616 rusak berat. Jumlah korban jiwa ± 156 orang, dan ratusan penumpang lainnya luka-luka.
Bencana di Atas Ka 225 dari Rangkasbitung bertabrakan dengan KA 220 dari Jakarta di Pondok Betung, Jak-Sel. Lebih dari 100 korban meninggal. Kedua gerbong terdepan meluncur menelan kedua lokomotif yang berciuman.
TIBA-tiba Wartini berteriak, “Kereta… kereta….” Semua pembeli lontong di warung wanita bertubuh gemuk itu menoleh ke belakang, ke arah rel 30-an meter di depan. Dua kereta api masing-masing sarat penumpang melaju dari arah berlawanan dengan kecepatan tinggi. Dan, “glegarrr,” tanah di sekitar warung pun bergetar. Wartini menjerit, “Astagfirullah …,” lalu ia jatuh pingsan. Orang-orang pun berdatangan, terkesima, kaget, tak percaya, ngeri.
Di Desa Pondok Betung, 4 km dari stasiun Kebayoran Lama, kawasan pinggir barat Jakarta Selatan, musibah itu terjadi. Pagi, pukul 07.05, 19 Oktober, Senin pekan ini. Seketika daerah itu menjadi ramai. Ramai oleh mereka yang dengan sukarela mencari alat apa saja untuk menolong korban bencana kereta api terbesar sepanjang sejarah perkeretaapian di Indonesia. Dan pemandangan di sekitar titik tubrukan sungguh mirip mimpi buruk yang tak pernah terbayangkan.
Di titik itulah KA 225 dari Rangkasbitung, Jawa Barat, dengan sekitar 700 penumpang adu kepala dengan kereta api KA 220 yang membawa 500-an penumpang yang datang dari stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat. Jumlah penumpang itu diperoleh dari sumber PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api). Artinya, belum terhitung penumpang gelap yang biasa berjejal, menempel di pinggiran lokomotif atau bertengger di atap gerbong-gerbong bercat hijau itu.
Sampai Senin tengah hari sudah lebih dari 100 korban yang meninggal dunia, 300-an orang luka berat dan ringan. Jumlah ini pasti bertambah, karena di dalam gerbong yang ringsek masih 20-an korban meninggal tapi belum bisa dikeluarkan.
Tertindih besi-besi yang tak keruan lagi malang-melintangnya, seorang ayah dan anak laki-lakinya berumur 10-an tahun tampak masih bernapas. “Saya belum akan pulang sampai dua orang itu jelas nasibnya,” kata Kapolda Poedy Syamsudin, yang langsung berada di tempat musibah.
Tujuh rumah sakit terdekat — RS Fatmawati, RS Setia Mitra, RS TNI-AL Mintoharjo, RS Pertamina, RS Pondok Indah, RS Jakarta, dan RS Cipto Mangunkusumo — menjadi tempat penampungan. Hari itu juga Presiden Soeharto mengunjungi para korban di RS Cipto Mangunkusumo.
Darah berceceran, di beberapa tempat menggenang. Potongan tubuh manusia berserakan. Di sebuah gerbong ditemukan potongan kaki dan tangan berselemak darah, entah tubuhnya berada di mana. Bau amis menyengat hidung. Raungan, jeritan, dan tangis korban yang masih dikaruniai hidup mengiris hati.
Di sebuah atap gerbong, seorang lelaki setengah baya terjepit dan putus asa. “Pooo…tong saja kaki saya,” pintanya dengan sengsara kepada sejumlah petugas yang mencoba menolongnya. Tak berapa lama si malang mengembuskan napas terakhirnya.
Tiga anak berumur sekitar lima tahun diketahui bernama Juned, Aswadi, dan Makmur, yang juga terjepit tak menjerit. “Minta air, Om,” kata salah seorang di antaranya kepada seorang polisi. Ketiganya baru bisa dikeluarkan pukul 20.00, lebih dari 12 jam kemudian.
Ketika matahari mulai menyengat, korban yang masih hidup, tubuh-tubuh yang menyembul di antara gerbong, dipayungi dengan kertas koran.
Siang itu sebuah lokomotif didatangkan untuk menyeret gerbong yang saling menjepit. Tapi rencana dibatalkan karena khawatir puluhan korban yang tergencet di dalam akan tambah remuk. “Selama masih ada yang hidup, gerbong itu tidak boleh digerakkan sampai kapan pun,” kata Menteri Perhubungan Rusmin Nurjadin di lokasi kecelakaan, Senin sore.
Begitu dahsyatnya tabrakan itu hingga dua gerbong terdepan dari KA 225 meluncur menelan kedua lokomotif yang berciuman, seakan ular menelan tikus. Di kedua gerbong inilah banyak korban tergencet, bak daging tercincang. Normalnya, kedua gerbong berkapasitas 166 penumpang. Kenyataannya, tentulah lebih dari itu. Gergaji besi mesin dan mesin pengelas didatangkan guna membongkar gerbong.
Sementara itu, bangku-bangku kereta yang berserakan dijadikan tandu untuk mengangkuti korban ke balai desa 200-an meter dari tempat itu. Mayat-mayat dijejerkan menunggu puluhan ambulans yang sibuk. Sejumlah mobil pribadi ikut membantu.
Helikopter polisi meraung-raung mengawasi keadaan dan siap mengangkut korban yang kritis. Beberapa sekolah SMP dan SMA di dekat tempat kejadian diliburkan, siswanya dikerahkan membantu.
Apa yang sebenarnya terjadi? Bertahun, mungkin berpuluh tahun, jalur kereta api di situ aman. Wartini, penjual lontong, saksi mata itu, pun heran, “Biasanya kereta api dari Rangkasbitung menunggu dulu di Sudimara. Saya heran kali ini kok dia jalan terus,” kata pemilik rumah di tepi rel itu.
Penumpang kereta dari Rangkasbitung yang berangkat pukul 05.00 subuh paling banyak pedagang kecil dan anak-anak sekolah. Biasanya kereta ini berhenti di stasiun Sudimara pada pukul 06.40, menunggu kereta dari Tanah Abang, yang biasanya melintas sembilan menit kemudian.
Menurut catatan yang diperoleh TEMPO, di hari maut itu KA 225 seperti biasa menunggu di Sudimara. Tapi KA 220 yang ditunggu tak juga datang. Mestinya — kalau semua berjalan sesuai dengan jadwal — pada pukul 06.50, KA 225 sudah meninggalkan Sudimara menuju Tanah Abang. Setelah menunggu sampai 06.55 dan kereta dari Tanah Abang tak juga nongol, maka bergeraklah kereta dari Rangkasbitung itu.
Memang, KA 220 terlambat 11 menit dengan sebab yang belum jelas. Stasiun Kebayoran Baru dilewatinya seperti biasanya. Seandainya rel kereta di 4 km kemudian tak menikung, bisa jadi tubrukan tak sedahsyat yang terjadi. Tapi siapa menduga pagi itu maut telah menunggu? Tiba-tiba saja, begitu kereta menikung, di depan sudah terlihat KA 225 meluncur, dan….
Pengusutan, seperti dikatakan Menteri Rusmin Nurjadin, difokuskan pada “Entah mengapa KA 225 meneruskan perjalanannya dari Sudimara”. Hal itu disebut Menteri sebagai suatu “kelainan” dan sedang diusut oleh Gappka (Gabungan Penyelidikan Peristiwa Kecelakaan Kereta Api). Hari itu juga Menteri Rusmin memerintahkan agar seluruh jadwal perjalanan kereta api di Indonesia dicek, tanpa kecuali.
Menurut sumber TEMPO, petugas di Sudimara tak pernah memberikan aba-aba berangkat pada KA 225. Padahal, tanpa aba-aba dari pimpinan perjalanan kereta api berupa tiupan peluit dan lambaian sinyal kayu bundar berwarna hijau — kereta api dilarang berangkat.
Adalah Ir. Endang Sukaesih, 27 tahun penduduk perumahan Pondok Pucung, Kecamatan Ciputat, Kabupaten Tangerang, agaknya bisa sedikit menjelaskan. Pagi itu, pegawai Badan Pemeriksa Keuangan yang biasanya naik KA 225 itu terlambat. Dia mencoba mengejar kereta yang mulai berjalan.
Seorang petugas stasiun berteriak, “Tak usah buru-buru, kereta cuma langsir.” Endang berhenti mengejar. Tapi kereta ternyata terus melaju meninggalkan stasiun. Semula Endang ingin marah, merasa ditipu. Urung, karena melihat petugas stasiun sendiri kalang-kabut. Ada yang berkata “Wah, ini bisa tabrakan.” Endang melihat seorang petugas mengejar kereta itu dengan sepeda motor. Tak berhasil. Siangnya, Endang mendengar musibah kereta api itu. Dia kontan pingsan.
Tak jelas, setelah gagal mengejar kereta, adakah Sudimara menghubungi stasiun pertama yang akan dilewati KA 225 itu. Harap dicatat stasiun kereta api itu masih berada di wilayah Jakarta, tapi masih memakai telegram sebagai alat komunikasi antarstasiun. Tak ada hubungan telepon. “Faktor itu kemungkinan menghambat komunikasi,” kata Haji Burhanuddin Wahab, Humas Departemen Perhubungan.
Mudah-mudahan, semua itu tak akan sulit diungkapkan. Masinis Amung Sunarya dan pembantunya Mujiono dari KA 225, juga masinis KA 220, Selamet dan pembantunya Saleh, selamat dari musibah. Diduga mereka meloncat dari lokomotif sebelum tabrakan terjadi. Mereka sekarang dimintai keterangan oleh Gappka.
Tinggal pertanyaan yang susah dijawab. Mengapa dalam tiga hari terjadi musibah dengan korban cukup besar: kebakaran dan tubrukan kereta.
sumber : http://charleskkb.blogspot.com; http://indocropcircles.wordpress.com; http://wikewidiawati.wordpress.com; http://www.jpnn.com
Tuesday, 10 December 2013
Cerita salah satu korban kecelakaan kereta Bintaro II yang selamat
Hei PT KAI ! Fitur Darurat Tak Berfungsi ! Kami Semua Hampir Mati !
.svg/430px-No_free_image_man_(en).svg.png)
Aku adalah salah satu korban dalam kecelakaan kereta api Bintaro. Bukan Tragedi Bintaro di masa lalu, tapi kecelakaan yang terjadi kemarin.
Aku datang ke stasiun Pondok Ranji pukul 10.30 WIB, dikarenakan aku sudah tahu jadwal kereta yang biasa aku naiki datang pukul 10.46 WIB. Tiap hari aku naik kereta untuk berangkat kerja. Kantorku di daerah Slipi, biasa turun di stasiun Palmerah atau Tanah Abang.
Kereta tumpanganku sedikit telat, sudah cukup terbiasa aku menerima kenyataan itu. Semua orang Indonesia aku yakin juga sudah maklum kalau ada ketidaktepatan waktu. Akhirnya, kereta datang pukul 11.05 WIB. Tanpa ragu, aku naiki kereta itu seperti biasa. Tak ada firasat apa pun, mungkin karena indera keenamku kurang peka.
Aku naik di gerbong wanita yang ada di paling depan. Tapi aku berdiri di bagian belakang gerbong itu. Seperti biasa, selama perjalanan aku chat sama teman-temanku di kantor yang aku tahu pasti juga bosan dalam perjalanan. Dari chat itu, aku tahu kalau salah satu manajer kantorku ada di kereta yang sama, hanya berbeda 1 gerbong dari gerbong yang aku naiki.
Tak lama berselang, tiba-tiba terjadi hentakan begitu keras. Bunyinya hampir tak kuingat karena kejadian yang begitu cepat. Dan saat pikiranku belum bertanya lebih jauh, yang aku sadari adalah kereta sudah miring ke kanan dari arah aku menghadap. Seketika aku sadar dan melihat orang-orang bertumpukan di sebelah kananku. Di sebelah kiriku juga ada orang-orang yang jatuh ke kanan, ke arahku.
Semua berteriak, panik, ketakutan. Aku pun begitu. Aku coba luruskan badanku terhadap gravitasi, baru aku mampu mengambil kesimpulan, ini adalah kecelakaan. Hal pertama yang aku cek adalah keadaan diriku sendiri. Tas yang aku bawa sudah lepas entah kemana, begitu pula HP yang tadi aku gunakan untuk chat. Jam tanganku copot tak tahu dimana.
Dan lagi-lagi aku tersadar, kami semua terkunci di dalam gerbong wanita yang jomplang ke kanan. Sadar bahwa itu kecelakaan, tapi belum sadar kalau gerbong kami menabrak tangki pertamina berisi bensin premium ribuan liter.
Yang aku tahu, semua orang, khususnya yang berada di tumpukan paling atas, yang ketika kereta berjalan ada di sebelah kiriku, mencoba membuka pintu kereta api.
Ada yang berteriak “Pintu tidak terbuka. Pintu tidak terbuka. Kereta ini rusak, seharusnya pintu terbuka dengan sendirinya kalau terjadi kecelakaan,” teriak seseorang.
Lalu ada orang lainnya yang berteriak “Cari palu dekat pintu untuk hancurkan kaca,”.
Wanita-wanita yang ada di dekat pintu gerbong kami, yang berada di tumpukan paling atas, mencari-cari palu tersebut. Alangkah terkejutnya kami, tak ada satu pun palu darurat untuk pecahkan kaca yang tersedia di gerbong kami.
Aku hampir putus asa mendengarnya, karena mendadak terdengar suara ledakan kecil dan kami melihat api, lalu asap mulai masuk ke gerbong. Aku sulit bernafas. Begitu juga yang lain.
Aku ketakutan sangat. Beberapa wanita yang ada di dekat kaca sebelah kiri gerbong, mencoba pecahkan kaca dengan tangan, tas dan apapun yang dirasa bisa digunakan.
Tak ada hasil. Retak pun tidak.
Suara tangis, orang dewasa, juga bayi yang ada di kereta itu, menambah ketakutanku. Kupikir “Inikah ajalku?”
Aku merinding, keringat dingin. Ingin menelpon mama tidak bisa, HP entah dimana. Tak terpikir pinjam HP karena semua orang sedang fokus ingin segera keluar dari kereta itu. Apalagi setelah adanya suara ledakan pertama tadi.
Aku berdoa. Berharap ini bukan ajalku, bukan ajal kami semua yang ada di dalam kereta itu. Mati karena terjebak dalam sebuah gerbong, hanya karena pintu darurat tidak terbuka, palu darurat tidak tersedia.
Sungguh beruntung. Datang sang pahlawan yang sampai akhirnya pun aku tidak tahu nama bapak itu. Dia ada di luar gerbong, dia berhasil memecahkan kaca gerbong kiri dengan helm yang ia bawa. Lalu datang lagi para lelaki yang membantu memecahkan kaca-kaca pada gerbongku.
Pecah, berlubang, kami pun keluar. Dan sungguh aku kaget melihat semangat gotong royong para penumpang dan warga yang membantu kami mulai dari pecahkan kaca, hingga mengeluarkan kami satu persatu.
Bayi-bayi yang ada di gerbong kami, secara gotong royong dikeluarkan lebih dulu. Aku terharu, lalu yang terluka dan berada di tumpukan sebelah atas, keluar setelah bayi dikeluarkan. Lalu yang masih normal juga keluar, termasuk aku.
Lolos dari gerbong, aku langsung menuju tempat yang aman, di sekitar situ. Menatap kereta dan gerbong yang mulai terbakar. Masih ada yang berusaha dikeluarkan. Dan dari tempat ‘pengungsian’ itu pula aku baru tahu kalau yang ditabrak adalah sebuah truk tangki yang membawa bahan yang mudah terbakar. Aku pun menjauhh, takut jika sewaktu-waktu meledak.
Dalam hati aku berdoa semoga semuanya bisa dikeluarkan dari gerbongku. Karena pusat kebakaran adalah di gerbongku.
Usai berdoa, aku putuskan menjauh lebih jauh lagi dari lokasi, mencari cara bagaimana bisa menghubungi mamaku. HP hilang, tas hilang, tak ada identitas. Aku pun tak tahu apakah semua bisa dikeluarkan dari gerbongku.
Lalu kulihat ada petugas kereta api, dikerumuni orang-orang yang mungkin penumpang kereta yang sama juga. Mereka menanyakan bagaimana proses asuransi. Petugas itu mengatakan “Kartu Keretanya dipegang kan? Karena kalau tidak ada itu, harus dilakukan proses pembuatan kartu terlebih dahulu dengan melampirkan KTP, baru proses asuransi bisa dilakukan”
Aku hanya bengong, karena kartu kereta ku ada di tas yang lenyap di dalam kereta ketika momentum tabrakan terjadi. Dompet juga ada dalam tasku, sehingga identitasku juga hilang.
Aku sadar, tak mungkin proses asuransi bisa dilakukan. Aku pun putuskan ikhlaskan saja barang-barangku yang hilang. Nyawaku selamat. Itu yang lebih penting. Dari dulu memang aku kurang percaya yang namanya asuransi. Mereka tricky. Selalu cari cara agar klaim tidak dibayar. Menjijikkan.
Dengan meminjam kepada seseorang di kerumunan itu, aku berhasil menelpon mamaku. Kaget juga bersyukur. Dan mama papa langsung jemput aku dan aku pun pulang.
Seharian aku hanya bengong. Sedih, takut, merasa hampir mati, tapi juga senang dan bersyukur bisa selamat karena aksi heroik warga sekitar yang berhasil menghancurkan kaca dengan helm yang ia bawa.
Bersyukur juga karena di tengah kecelakaan seperti itu masih ada toleransi dan tenggang rasa. Mereka tidak mendahulukan dirinya keluar dari gerbong. Bayi-bayi terlebih dahulu, dilanjutkan dengan orang-orang terluka yang bisa didahulukan, baru penumpang yang masih normal.
Itu sesuatu banget buatku. Ternyata kebaikan spontan seperti itu masih ada di bangsa ini.
Hanya saja, sangat sangat aku sayangkan, kenapa pintu gerbong kereta tidak terbuka dengan sendirinya. Padahal, info yang aku baca mengatakan kalau mekanisme pintu sudah dibuat agar bisa kebuka dengan sendirinya ketika terjadi kecelakaan.
Dan sebagai tambahan fitur darurat, jika pintu tidak terbuka dengan sendirinya, disediakan palu darurat untuk memecahkan kaca. Ini juga tidak aku dan penumpang di gerbong itu temukan. Dan jika tidak ada warga yang heroik itu, aku, kami semua yang ada di gerbong itu, sudah menemui ajal akibat terperangkap karena fitur darurat tidak berfungsi.
Aku tak mau masuk dalam perdebatan ini kesalahan Pertamina atau PT KAI, karena aku tahu itu hanyalah upaya keduanya untuk membela diri.
Yang aku tahu, sebagai penumpang yang baru saja mengalami kecelakaan, keselamatan kami amat sangat terancam ketika fitur darurat tak ada yang berfungsi.
Rasanya ingin berteriak :
“Hei PT KAI ! Fitur Darurat Tak Berfungsi ! Kami Semua Hampir Mati !
sumber : kaskus
Friday, 12 July 2013
"warung remang-remang tempat dia menjajakan badan" salah satu kalimat Dalam buku mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas 6 SD karangan Graphia Buana
BOGOR - Memasuki tahun ajaran baru di Kota Bogor, Jawa Barat,
orang tua diresahkan dengan ditemukannya buku pelajaran kelas 6 SD yang
soalnya berbau porno. Pihak Dinas Pendidikan berencana menarik kembali
buku tersebut.
Belum juga masa sekolah ajaran baru dimulai,sebuah buku yang tidak layak dipelajari murid SD beredar di Kota Bogor.
Dalam buku mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas 6 SD karangan Graphia
Buana yang di terbitkan awal Maret lalu dengan judul sampul buku “Aku
Senang Bahasa Indonesia” terdapat bacaan porno yang tidak layak diibaca
murid.
Dalam buku tersbut tepatnya di halaman 58, terdapat kalimat yang tidak
pantas untuk dipelajari yang isinya tentang cara berhubungan intim, cara
bereproduksi, dan proses persalinan, yang seharusnya tidak berada dalam
pelajaran Bahasa Indonesia.
Di buku Bahasa Indonesia yang dijual seharga Rp32.500 oleh penerbit ini,
sangat disesalkan Dinas Pendidikan Kota Bogor. Karena itu, selain
menarik peredaeran buku paket pendamping Bahasa Indonesia ini, pihak
dinas juga akan memanggil seluruh kepala sekolah yang menjual buku
tersebut.
sumber : okezone
Sunday, 2 September 2012
Densus 88 tangkap Bayu, ayah mertua babak belur ikut dipukuli
Aksi represif aparat Detasemen Khusus 88 Antiteror saat menangkap
terduga teroris Bayu Setiono di Karanganyar, Jawa Tengah, Jumat (31/8)
malam, disayangkan keluarga. Pasalnya, ayah mertua Bayu yang sudah
lanjut usia ikut babak belur dipukuli aparat.
Wiji Siswo Suwito, ayah mertua Bayu, seperti dikutip dari detikmuslim.com,
tergolek tak berdaya. Ia menderita serius di bagian mata dan sebagian
muka. Pria berusia 65 tahun ini dianggap melawan aparat saat aparat
Densus 88 menggerebek rumahnya di Dusun Tempel, Desa Bulurejo, Kecamatan
Gondangrejo.
Akibatnya, pukulan bertubi-tubi mendarat di muka kakek berusia lanjut
ini. Tidak hanya itu, pintu kamar dirusak dengan palu besar. Tangannya
diborgol dengan lakban. Ada jaitan dibawah mata.
Menurut Istrinya Setyoini, 2 Hp Bayu dan 1 HP nya dirampas Densus
88, Kendaraan dibawa. Tidak ada surat penangkapan maupun surat
penyitaan'
Menurut Sekjen LUIS Yusuf Yuparno ketika menerima ayah Bayu di
Sekretariat LUIS, apa yang dilakukan Densus 88 sudah diluar prosedur.
Sementara itu menurut Humas LUIS Endro Sudarsono, berpendapat bahwa
Mabes Polri terlalu cepat mengkaitkan Bayu dengan Kejadian penembakan di
Pospam Gemblegan, Peledakan di Gladag maupun Penembakan di Singosaran.
"Ada yang aneh dan Janggal, dengan menembak mati F dan M di jalan
Veteran Tipes Serengan Polri justru sulit membuktikan bahwa Bayu adalah
pelaku dari kasus teror di Solo," kata Dia.
Seperti diketahui, Densus 88 meringkus pengendara motor di Jl.Veteran
Tipes, Serengan, Solo, Jawa Tengah, karena diduga terlibat dalam aksi
penembakan dan pelemparan granat di Pos Polisi. Dalam penangkapan
tersebut terjadi baku tembak yang menyebabkan dua pengendara motor gugur
dan seorang personel Densus 88 mati terkena tembakan.
sumber : arrahmah
Subscribe to:
Posts (Atom)