Tuesday, 10 December 2013

Cerita salah satu korban kecelakaan kereta Bintaro II yang selamat

Hei PT KAI ! Fitur Darurat Tak Berfungsi ! Kami Semua Hampir Mati !


Aku adalah salah satu korban dalam kecelakaan kereta api Bintaro. Bukan Tragedi Bintaro di masa lalu, tapi kecelakaan yang terjadi kemarin.

Aku datang ke stasiun Pondok Ranji pukul 10.30 WIB, dikarenakan aku sudah tahu jadwal kereta yang biasa aku naiki datang pukul 10.46 WIB. Tiap hari aku naik kereta untuk berangkat kerja. Kantorku di daerah Slipi, biasa turun di stasiun Palmerah atau Tanah Abang.

Kereta tumpanganku sedikit telat, sudah cukup terbiasa aku menerima kenyataan itu. Semua orang Indonesia aku yakin juga sudah maklum kalau ada ketidaktepatan waktu. Akhirnya, kereta datang pukul 11.05 WIB. Tanpa ragu, aku naiki kereta itu seperti biasa. Tak ada firasat apa pun, mungkin karena indera keenamku kurang peka.

Aku naik di gerbong wanita yang ada di paling depan. Tapi aku berdiri di bagian belakang gerbong itu. Seperti biasa, selama perjalanan aku chat sama teman-temanku di kantor yang aku tahu pasti juga bosan dalam perjalanan. Dari chat itu, aku tahu kalau salah satu manajer kantorku ada di kereta yang sama, hanya berbeda 1 gerbong dari gerbong yang aku naiki.

Tak lama berselang, tiba-tiba terjadi hentakan begitu keras. Bunyinya hampir tak kuingat karena kejadian yang begitu cepat. Dan saat pikiranku belum bertanya lebih jauh, yang aku sadari adalah kereta sudah miring ke kanan dari arah aku menghadap. Seketika aku sadar dan melihat orang-orang bertumpukan di sebelah kananku. Di sebelah kiriku juga ada orang-orang yang jatuh ke kanan, ke arahku.

Semua berteriak, panik, ketakutan. Aku pun begitu. Aku coba luruskan badanku terhadap gravitasi, baru aku mampu mengambil kesimpulan, ini adalah kecelakaan. Hal pertama yang aku cek adalah keadaan diriku sendiri. Tas yang aku bawa sudah lepas entah kemana, begitu pula HP yang tadi aku gunakan untuk chat. Jam tanganku copot tak tahu dimana.

Dan lagi-lagi aku tersadar, kami semua terkunci di dalam gerbong wanita yang jomplang ke kanan. Sadar bahwa itu kecelakaan, tapi belum sadar kalau gerbong kami menabrak tangki pertamina berisi bensin premium ribuan liter.

Yang aku tahu, semua orang, khususnya yang berada di tumpukan paling atas, yang ketika kereta berjalan ada di sebelah kiriku, mencoba membuka pintu kereta api.

Ada yang berteriak “Pintu tidak terbuka. Pintu tidak terbuka. Kereta ini rusak, seharusnya pintu terbuka dengan sendirinya kalau terjadi kecelakaan,” teriak seseorang.

Lalu ada orang lainnya yang berteriak “Cari palu dekat pintu untuk hancurkan kaca,”.

Wanita-wanita yang ada di dekat pintu gerbong kami, yang berada di tumpukan paling atas, mencari-cari palu tersebut. Alangkah terkejutnya kami, tak ada satu pun palu darurat untuk pecahkan kaca yang tersedia di gerbong kami.

Aku hampir putus asa mendengarnya, karena mendadak terdengar suara ledakan kecil dan kami melihat api, lalu asap mulai masuk ke gerbong. Aku sulit bernafas. Begitu juga yang lain.

Aku ketakutan sangat. Beberapa wanita yang ada di dekat kaca sebelah kiri gerbong, mencoba pecahkan kaca dengan tangan, tas dan apapun yang dirasa bisa digunakan.

Tak ada hasil. Retak pun tidak.

Suara tangis, orang dewasa, juga bayi yang ada di kereta itu, menambah ketakutanku. Kupikir “Inikah ajalku?”

Aku merinding, keringat dingin. Ingin menelpon mama tidak bisa, HP entah dimana. Tak terpikir pinjam HP karena semua orang sedang fokus ingin segera keluar dari kereta itu. Apalagi setelah adanya suara ledakan pertama tadi.

Aku berdoa. Berharap ini bukan ajalku, bukan ajal kami semua yang ada di dalam kereta itu. Mati karena terjebak dalam sebuah gerbong, hanya karena pintu darurat tidak terbuka, palu darurat tidak tersedia.

Sungguh beruntung. Datang sang pahlawan yang sampai akhirnya pun aku tidak tahu nama bapak itu. Dia ada di luar gerbong, dia berhasil memecahkan kaca gerbong kiri dengan helm yang ia bawa. Lalu datang lagi para lelaki yang membantu memecahkan kaca-kaca pada gerbongku.

Pecah, berlubang, kami pun keluar. Dan sungguh aku kaget melihat semangat gotong royong para penumpang dan warga yang membantu kami mulai dari pecahkan kaca, hingga mengeluarkan kami satu persatu.

Bayi-bayi yang ada di gerbong kami, secara gotong royong dikeluarkan lebih dulu. Aku terharu, lalu yang terluka dan berada di tumpukan sebelah atas, keluar setelah bayi dikeluarkan. Lalu yang masih normal juga keluar, termasuk aku.

Lolos dari gerbong, aku langsung menuju tempat yang aman, di sekitar situ. Menatap kereta dan gerbong yang mulai terbakar. Masih ada yang berusaha dikeluarkan. Dan dari tempat ‘pengungsian’ itu pula aku baru tahu kalau yang ditabrak adalah sebuah truk tangki yang membawa bahan yang mudah terbakar. Aku pun menjauhh, takut jika sewaktu-waktu meledak.

Dalam hati aku berdoa semoga semuanya bisa dikeluarkan dari gerbongku. Karena pusat kebakaran adalah di gerbongku.

Usai berdoa, aku putuskan menjauh lebih jauh lagi dari lokasi, mencari cara bagaimana bisa menghubungi mamaku. HP hilang, tas hilang, tak ada identitas. Aku pun tak tahu apakah semua bisa dikeluarkan dari gerbongku.

Lalu kulihat ada petugas kereta api, dikerumuni orang-orang yang mungkin penumpang kereta yang sama juga. Mereka menanyakan bagaimana proses asuransi. Petugas itu mengatakan “Kartu Keretanya dipegang kan? Karena kalau tidak ada itu, harus dilakukan proses pembuatan kartu terlebih dahulu dengan melampirkan KTP, baru proses asuransi bisa dilakukan”

Aku hanya bengong, karena kartu kereta ku ada di tas yang lenyap di dalam kereta ketika momentum tabrakan terjadi. Dompet juga ada dalam tasku, sehingga identitasku juga hilang.

Aku sadar, tak mungkin proses asuransi bisa dilakukan. Aku pun putuskan ikhlaskan saja barang-barangku yang hilang. Nyawaku selamat. Itu yang lebih penting. Dari dulu memang aku kurang percaya yang namanya asuransi. Mereka tricky. Selalu cari cara agar klaim tidak dibayar. Menjijikkan.

Dengan meminjam kepada seseorang di kerumunan itu, aku berhasil menelpon mamaku. Kaget juga bersyukur. Dan mama papa langsung jemput aku dan aku pun pulang.

Seharian aku hanya bengong. Sedih, takut, merasa hampir mati, tapi juga senang dan bersyukur bisa selamat karena aksi heroik warga sekitar yang berhasil menghancurkan kaca dengan helm yang ia bawa.

Bersyukur juga karena di tengah kecelakaan seperti itu masih ada toleransi dan tenggang rasa. Mereka tidak mendahulukan dirinya keluar dari gerbong. Bayi-bayi terlebih dahulu, dilanjutkan dengan orang-orang terluka yang bisa didahulukan, baru penumpang yang masih normal.

Itu sesuatu banget buatku. Ternyata kebaikan spontan seperti itu masih ada di bangsa ini.

Hanya saja, sangat sangat aku sayangkan, kenapa pintu gerbong kereta tidak terbuka dengan sendirinya. Padahal, info yang aku baca mengatakan kalau mekanisme pintu sudah dibuat agar bisa kebuka dengan sendirinya ketika terjadi kecelakaan.

Dan sebagai tambahan fitur darurat, jika pintu tidak terbuka dengan sendirinya, disediakan palu darurat untuk memecahkan kaca. Ini juga tidak aku dan penumpang di gerbong itu temukan. Dan jika tidak ada warga yang heroik itu, aku, kami semua yang ada di gerbong itu, sudah menemui ajal akibat terperangkap karena fitur darurat tidak berfungsi.

Aku tak mau masuk dalam perdebatan ini kesalahan Pertamina atau PT KAI, karena aku tahu itu hanyalah upaya keduanya untuk membela diri.

Yang aku tahu, sebagai penumpang yang baru saja mengalami kecelakaan, keselamatan kami amat sangat terancam ketika fitur darurat tak ada yang berfungsi.

Rasanya ingin berteriak :

“Hei PT KAI ! Fitur Darurat Tak Berfungsi ! Kami Semua Hampir Mati !


sumber : kaskus

2 comments:

  1. betul sekali. yang penting selamat. mantab. karna nyawa tidak bisa dibayar dengan apapun...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yup, masing-masing kita hanya dibekali satu nyawan

      Delete