Saturday, 1 September 2012

Masihkah Ramadan Bersama Kita

RAMADHAN tahun ini telah berlalu. Hari-hari di bulan Syawal sedang kita lalui. Sungguh beruntung orang-orang mukmin yang hari-harinya bersama Ramadhan. Ia merasakan dekapan Ramadhan dalam malam-malam yang penuh kesyahduan. Larut dalam untaian tilawah Alquran, berdzikir dan bercumbu dalam khusyuknya salat malam. Kegersangan spritual ia isi dengan sungguh dalam beribadah sebagai tanda keinsafan. Ada sebuah kesadaran yang mencuat dari lubuk hati yang dalam, bahwa tidak ada jaminan untuk bersua dengan Ramadhan tahun depan.


Alangkah merana sang pendosa. Mata hatinya terkunci untuk menatap keberkahan yang ditaburkan Ramadhan. Ia hidup tetapi tidak memiliki kehidupan. Selama Ramadhan jiwanya tersiksa. Ia terpenjara oleh nafsu buruk dan pikiran kumuh. Karena ia tak tahu dan tak mau tahu dengan Ramadhan, celah Ramadhan pun masih ia sempatkan untuk menabur kemaksiatan. Padahal, sekali saja dari hembusan nafasnya berhenti, berarti usai baginya kehidupan ini.

Jujur saja. Banyak perubahan yang dirasakan oleh kita selama bulan Ramadhan. Tiba-tiba secara pribadi tingkat kesolehan kita meningkat. Berbagai bentuk ibadah, seperti shalat malam (tarawih), tilawah Al-Quran, sedekah, dan mendatangi masjid atau mushalla begitu mudah untuk dilakukan. Ucapan dan tutur kata dijaga. Sikap malu untuk berbuat maksiat begitu terasa.

Lihat pula dalam konteks bernegara. Setiap insan seakan tersadar bahwa kemaksiatan bukan persoalan individu orang. Setiap kita ternyata memiliki hubungan emosional dan harus empati dengan kehadiran orang lain. Nilai rasa dan penghargaan muncul. Maka, tempat-tempat maksiat dirazia dan ditutup sebagai bentuk penghormatan terhadap pesta spritualitas Ramadhan umat Islam. Program televisi dan tampilan artis pun berubah memberi kesan kepedulian. Dan, semua kita mampu membuktikan makna toleransi yang sejati.

Namun, pertanyaan menyeruak kepermukaan. Apakah ini tanda keinsafan kita atau malah menegaskan sikap kita yang pragmatis dan hedonis? Di mana segala sesuatu diukur dari aji mumpung dan memanfaatkan apa yang sedang ada di depan mata. Bagi pedagang, Ramadhan adalah lembaran uang dari kepentingan bisnis dan ekonomi. Bagi pejabat, Ramadhan adalah ajang publikasi diri dan tebar pesona dengan balutan aneka bantuan untuk yang miskin. Bagi yang miskin, Ramadhan menggiatkan diri untuk meminta-minta belas kasihan kepada sang pemberi. Dan, Ramadhan hanya dijadikan singgah pertobatan yang menutup segala kemunafikan diri.

Masihkah Ramadhan dengan nilai-nilai keutamaannya bersama kita? Pertanyaan ini sederhana, namun butuh tanggung jawab besar. Untuk itu, mari kita renungi kembali sebuah ayat Alquran yang selalu akrab ditelinga kita selama Ramadhan, yakni Surat Albaqarah ayat 183. “Semangat” kata-kata yang terdapat dalam ayat ini layak menjadi renungan untuk memaknai puasa yang telah kita kerjakan dan Ramadhan yang telah pergi.
 
Pertama, kata amanu. Ia juga disebut sebagai prinsip dan komitmen. Dengan itulah kita menjalankan ibadah puasa. Tanpa itu yang ada hanyalah keraguan dan sia-sianya puasa. Ia harus dijaga dan diperbaharui setiap saat. Sebab iman mengalami fluktuasi (naik-turun) pada diri seseorang. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW mengingatkan untuk senantiasa memperbaharui keimanan (jaddidu imaanakum), yaitu dengan ketaatan. Hanya dengan keimanan yang mantaplah puasa akan melahirkan kader Ramadhan yang militan dalam peningkatan diri. Inilah rahasia ungkapan Yaa ayyuhallaziina aamanu yang harus diperhatikan.

Kedua, kata kutiba yang berarti ditulis, dalam ayat diartikan diwajibkan. Sesuatu yang ditulis tentu meninggalkan bekas. Puasa harus memberi bekas terhadap diri kita. Ia harus mampu mengubah kepribadian kita untuk menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya. Bekas itu bisa ditunjukkan dengan sikap lebih sabar, tawakkal, disiplin, dan tawadhu’. Akhlak mulia harus melekat pada diri kita sebagai hasil “tulisan” Ramadhan.  Inilah rahasia kata kutiba. Allah SWT tidak memilih kata furida (yang difardhukan) atau ujiba (yang diwajibkan) dalam hal ini. Allahu a’lam.

Ketiga, kata as shiyam yang berarti puasa. Dengan puasa diharapkan mampu mengendalikan dan menjaga diri kita. Oleh sebab itu puasa juga bermakna al imsak (menahan). Orang yang mampu menahan diri (sabar) akan mampu menguasai keadaan. Hal itu akan melahirkan sikap proforsional dalam tindakan. Dan itu menunjukkan kejernihan berpikir dan ketenangan jiwa dalam menghadapi persoalan. Inilah yang disebut dengan kecerdasan emosional (Emotional Intellegence).

Keempat, kata qablikum yang berarti sebelum kamu. Puasa harus membuat kita lebih peduli dan mau belajar dengan orang lain. Inilah rahasia ungkapan kama kutiba ‘alallazina min qablikum. Puasa bukan ibadah baru. Ia telah diwajibkan oleh Allah SWT kepada orang-orang sebelum kita. Ungkapan ini secara psikologis mengajak kita untuk tidak merasa sendirian dan susah dalam beribadah. Jika ini disadari, sungguh puasa Ramadhan akan terasa mudah dan bermakna, sekaligus memunculkan kepekaan sosial yang luar biasa.

Kelima, kata tattaqun. Puasa harus diorientasikan atau diproyeksikan untuk menggapai ketakwaan (la’allakum tattaqun). Inilah ‘gawang’ Ramadhan yang harus dituju dari sasaran ‘bola’ puasa kita. Jika akhir suatu usaha memiliki target yang jelas, biasanya membawa dampak semangat luar biasa dalam usaha itu. Dengan takwa akan terbedakanlah mana hamba yang mulia dan hina dihadapan Allah SWT (QS. Al Hujarat: 13). Dan sungguh, urusan dan rezeki orang bertakwa akan dimudahkan oleh Allah SWT.

Inilah nilai puasa yang dapat dipetik dari semangat untaian kata Surat Albaqarah ayat 183 yang semoga menginspirasi dan mempengaruhi kita, sehingga hari-hari kita tetap terasa bersama Ramadhan meskipun ia telah meninggalkan kita untuk tahun ini. Wallahu A’lam.*

sumber : hidayatullah

No comments:

Post a Comment