Wednesday 12 March 2014

Empat Stasiun Kereta Api Tertua di Indonesia



Dibawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J Baron Sloet van den Beele, sejarah perkeretaapian di Indonesia dimulai dengan pencangkulan pertama pembangunan jalan kereta api di desa Kemijen Semarang, Jumat tanggal 17 Juni 1864. Pembangunan transportasi kereta api diprakarsai oleh “Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij” (NV. NISM) yang dipimpin oleh Ir. J.P de Bordes.

Bentang waktu yang lama tentunya banyak sekali pembangunan stasiun-stasiun yang menjadi jalur perlintasan kereta pada masa tersebut. Sampai sekarang, ada beberapa yang masih beroperasi sebagai jalur transportasi publik, angkutan barang, hanya sebagai kereta wisata, atau bahkan dijadikan sebagai museum kereta api. Yang menyedihkan, malah ada beberapa yang sudah tidak terawat, tidak dilestarikan dan punah. Berikut daftar Stasiun Kereta Api Tertua di Indonesia:

1. Stasiun Semarang Gudang / Tambaksari (1864)
Stasiun ini dibangun pada tanggal 16 Juni 1864 yang diresmikan oleh Gubernur Jenderal Baron Sloet van de Beele. Untuk pengoperasian rute ini, pemerintah Belanda menunjuk Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS), salah satu markas NIS yang sekarang dikenal sebagai Gedung Lawang Sewu. Dan tepatnya pada 10 Agustus 1867 sebuah kereta meluncur untuk pertama kalinya di stasiun ini. Pembangunan stasiun ini merupakan cikal bakal perkebangan perkeretaapian di Indonesia hingga sekarang ini. Dampak dari pembangunan stasiun ini menjadikan Pulau Jawa menjadi ladang investor Belanda pada masa tersebut.

2. Stasiun Semarang Tawang (1868)
Pembangunan stasiun ini berselang empat tahun setelah selesainya pembangunan Stasiun Semarang Gudang / Tambaksari. Stasiun dengan kode SMT merupakan stasiun induk di wilayah Tanjung Mas, Semarang Utara, Kotamadya Semarang yang melayani kereta api eksekutif dan bisnis.
Stasiun ini merupakan stasiun tertua kedua setelah Stasiun Semarang Gudang / Tambaksari yang diresmikan tanggal 19 Juli 1868 untuk jalur Semarang Tawang ke Tanggung. Jalur ini menggunakan lebar 1435 mm. Pada tahun 1873 jalur ini diperpanjang hingga Stasiun Solo Balapan dan melanjut hingga Stasiun Lempuyangan di Yogyakarta.

3. Stasiun Lempuyangan Yogyakarta (1872)
Stasiun dengan kode LPN, +144 m, adalah stasiun tertua di Kota Gudeg melayani pemberhentian semua KA ekonomi yang melintasi Yogyakarta. Stasiun Lempuyangan beserta dengan rel yang membujur dari barat ke timur merupakan perbatasan antara Kecamatan Gondokusuman di utara dan Danurejan di selatan.

Diresmikan tanggal 2 Maret 1872 oleh Pemerintah Hindia Belanda, keberadaan Stasiun Lempuyangan pada saat itu memiliki arti penting bagi pertumbuhan dan perkembangan perkeretaapian di Pulau Jawa. Pada saat itu stasiun ini melayani rute Jogja – Semarang.


4. Stasiun  Buitenzorg /Bogor (1872)
Dibangun oleh BUMN perkeretaapian milik Pemerintah Belanda 1872 sebagai stasiun persinggahan terakhir jalur Batavia – Buitenzorg (Bogor-Jakarta) dan mulai beroperasional satu tahun setelah pembangunan stasiun ini. Dibangunnya Stasiun Bogor ini bertujuan untuk mempersingkat waktu perjalanan Batavia-Buitenzorg (Jakarta-Bogor) karena pada saat itu masih menggunakan kereta kuda sebagai transportasi utama melayani penumpang.

Perkembangan pesat pengguna kereta api jalur Batavia – Buitenzorg pada akhirnya di tahun 1881 dibangun stasiun baru dengan desain arsitektunya bergaya Eropa dan berlantai dua dengan hiasan berbagai motif. Seperti geometrik awan, kaki-kaki singa dan relung-relung bagian lantai. Sampai saat ini, Kusen pintu masuk dan jendelanya masih dalam kondisi utuh dengan gaya khas. Lapangan yang ada didepannya yang konon bernama Wilhemina Park. 

Bangunan itu sendiri luasnya kurang lebih 5.955 m2 yang dibangun di areal lahan seluas 43.267 m2 lokasi tepatnya di Jalan Nyi Raja Permas Kelurahan Cibogor Kecamatan Bogor Tengah. Salah satu ruangan di stasiun ini terdapat prasasti yang didirikan pada 1881. Prasasti itu terbuat dari marmer sebagai persembahan karyawan sebagai ucapan selamat pagi terhadap D Marschalk yang memasuki masa pensiun atas jasanya mengembangkan perkeretaapian di Pulau Jawa.

5. Stasiun Ambarawa (1873)
Stasiun ini sekarang berfungsi sebagai Museum Kereta Api Ambarawa yang banyak dikunjungi wisatawan pada akhir minggu dan musim liburan.  Museum ini memiliki koleksi lengkap mengenai kelengkapan kereta api yang berjaya pada zamannya. Salah satu kereta api uap dengan lokomotif nomor B 2502 dan B 2503 buatan Maschinenfabriek Esslingen sampai sekarang masih dapat menjalankan aktivitas sebagai kereta api wisata.

Kereta Api dengan teknologi uap ini memilikii gerigi yang sangat unik, berfungsi untuk memudahkan di jalan yang menanjak selain itu lokomotif ini merupakan salah satu dari tiga yang masih tersisa di dunia (dua diantaranya ada di Swiss dan India). Selain koleksi-koleksi unik tadi, masih dapat disaksikan berbagai macam jenis lokomotif uap dari seri B, C, D hingga jenis CC yang paling besar (CC 5029, Schweizerische Lokomotiv und Maschinenfabrik) di halaman museum.

No comments:

Post a Comment