Monday, 27 May 2013
Peristiwa Geger Condet
Engkong Thalib (65) bercerita dalam nada
bangga. Sambil menunjuk reruntuhan gedung tua di pertigaan Condet, ia
mengisahkan tentang sebuah perlawanan lama. Ya, lebih kurang 91 tahun
lalu, di tempat yang dikenal sebagai Villa Nova itu, para petani Betawi
menyabotase sebuah pesta yang dilakukan oleh orang-orang Belanda.
Peristiwa itulah yang 4 hari kemudian memantik adu nyawa para petani
pimpinan Haji Entong Gendut dengan para serdadu marsose Belanda dan
centeng-centengnya di Batu Ampar.
Laki-laki dengan 10 cucu itu bercerita, dari generasi ke generasi
kisah perlawanan itu terus dipelihara. Biasanya cerita tersebut
disampaikan oleh para engkong sebagai bukti,”Kite orang Betawi tidak
bisa begitu ajediinjak-injak ame kumpeni,”ujar penduduk asli Kampung
Gedong itu.
Thalib memang tidak sekadar mendongeng. Sartono Kartodirjo dalam
Protest Movements in Rural Java menyatakan pemberontakan Condet memang
tercatat dalam dokumentasi pemerintah Hindia Belanda. Cerita bermula
dari sebuah peristiwa yang terjadi pada sekitar Februari 1916.
Saat itu, Lady Lollinson-- seorang tuan tanah berkebangsaan
Inggris—menang perkara atas seorang petani tua bernama Pak Taba.
Selanjutnya,landrad (pengadilan) Meester Cornelis (sekarang Jatinegara)
memutuskan untuk menyita seluruh hak milik Pak Taba.
Eksekusi pun dilakukan secara cepat dan terbuka. Secara paksa, para
petugas pengadilan menyita seluruh harta Pak Taba, termasuk sebidang
tanah di Kebon Jaimin sebelah utara. Maka sejak itu, jadilah Pak Taba
dan keluarganya jatuh miskin.
Penduduk Condet banyak bersimpati sekaligus marah atas nasib yang
menimpa Pak Taba. Tak terkecuali, tokoh kharismatik mereka yang bernama
Haji Entong Gendut.”Dia merasa gerah, karena cerita kumpeni menggusur
tanah orang Betawi sudah terjadi ratusan kali,”tutur Thalib.
Willard Hanna –sejarawan Indonesiaasal Amerika Serikat--menyebut
penyitaan oleh pemerintah Hindia Belanda sangat lazim pada tahun
1900-an. Itu terjadi karena rakyat kebanyakan tidak sanggup
membayarblasting (pajak tanah) yang diterapkan. “Jumlahnya memang
fantastis, hingga wajar dari blasting ini bisa menutupi 30% kebutuhan
negeri Belanda,”tulis Hanna dalam Hikayat Jakarta.
Karena tidak tahan, melihat penderitaan rakyatnya, Haji Entong
kemudian bermusayawarah dengan tokoh-tokoh Condet lainnya seperti Haji
Amat Wahab dan Haji Maliki. Keputusan pun lahir: mereka harus melawan.
Maka pada 5 April 1916, sekitar jam 11 malam, ketiga haji itu
memimpin 30 pemuda bergerak ke arah kediaman Lady Lollinson di Vila
Nova.Dengan gagah berani, mereka menghentikan pesta Tari Topeng yang
menyertakan juga kegiatan judi dan pelacuran. Saat ditanya oleh Mantri
Polisi alasan penghentian itu, Haji Entong menjawab, ”Demi agama!”
Penghentian itu ditafsirkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai
sebuah bentuk pembangkangan. Empat hari kemudian, menjelang ashar
ratusan orang yang terdiri dari serdadu marsose, centeng-centeng tuan
tanah dan para upas mengepung rumah Haji Entong di Batu Ampar.
“Keluar kau, Entong!” teriak Wedana Pasar Rebo yang memimpin rombongan para pengepung itu
"Gue bakalan keluar setelah sembahyang barang sebentar!" sahut Haji Entong dari dalam rumah.
Detik demi detik berlalu. Dengan tegang para pengepung menunggu Haji
Entong keluar. Bada ashar (sekitar jam 4 sore), Haji Entong pun keluar.
Bersamaan keluarnya dia, dari semak-semak bermunculan puluhan jagoan
Condet. Pertempuran pun berjalan secara tidak seimbang. Dentingan golok
dan tombak terdengar nyaring bersanding dengan suara tembakan dari
senapan para serdadu marsose.
Haji Entong sendiri bertempur bak harimau lapar. Dengan sebilah
golok, dan tombak berbendera merah dihiasi bulan sabit putih, dia
mengamuk. Dari mulutnya, tak henti-henti terdengar takbir,” Allahu
Akbar! Sabilillah…Gue kagak takut ame kompeni!”teriaknya
Menjelang magrib, puputan di Batu Ampar itu berakhir. Tanah Batu
Ampar yang berwarna merah semakin merah karena darah. Di bawah pohon
duku dan rimbunan pohon salak, puluhan mayat bergelimpangan. Termasuk
mayat beberapa pemuda Condet dan para haji Betawi yang ikut bertempur.
Mayat Haji Entong sendiri tak pernah jelas keberadaannya. Adatiga
versi cerita rakyat Condet berkaitan dengan hal ini. Pertama, mayatnya
dibawa hanyut arus Sungai Ciliwung saat dia terdesak ke arah sungai itu
lalu tertembak mati.
Versi kedua, mayat Haji Entong diangkut Belanda lalu dimakamkan di
sebuah tempat di Bogor. Versi yang terakhir malah sangat tragis, mayat
Haji Entong diceburkan oleh Belanda ke Laut Jawa.
Versi mana yang betul, tidak ada seorang pun yang berani menjaminnya.
Namun yang jelas, upaya perlawanan itu seolah memicu tumbuhnya
haji-haji pemberontak di kawasan lain. Di Tanah Abang misalnya, munculah
sosok Haji Sabeni yang menjadi pembela rakyat kecil. Lantas di
Kemayoran, terkenal pula nama Haji Ung sebagai palang dademasyarakat
setempat saat memiliki masalah dengan Belanda.
Bisa jadi karena sikap patriotik para haji saat itu, banyak nama
jalan di Jakarta kemudian menggunakan nama mereka. Sebuah simbol
kebanggaan rakyat Betawi akan leluhur mereka yang pahlawan. Laiknya
kebanggaan Engkong Thalib.(Islam Indonesia/hendijo). Foto: Vila Nova di
pertigaan Kampung Gedong, Condet
sumber : http://www.islamindonesia.co.id/index.php/feature/asal-usul/930-geger-tjondet
Labels:
kisah nyata,
sejarah Indonesia
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment