Friday, 29 June 2012
Kopi Suguhan Pak Kiai
SEROMBONGAN
cendekiawan dan ulama muda datang mengunjungi Kiai Sepuh di sebuah
pesantren kecil di desa. Meskipun dari pesantren kecil dan di desa pula,
Kiai Sepuh ini kerap sekali menerima tamu dari berbagai kalangan untuk
berbagai urusan. Kiai Sepuh ini terkenal dengan kemampuannya
menyelesaikan berbagai persoalan yang rumit dengan caranya yang khas –
sederhana dan agak mbanyol (ngelawak). Seperti biasa Pak Kiai akan mendengarkan dahulu masalah para tamunya, baru kemudian memberikan solusinya.
Maka satu demi satu rombongan cendekiawan dan ulama
muda tersebut mengutarakan problemnya masing masing. Ada yang
mengeluhkan problem dakwahnya yang mengalami hambatan di sana-sini
karena kekurangan dana, ada yang mengeluhkan problem keluarganya, ada
yang mengeluhkan hedonism masyarakat yang berpikiran serba materi, ada
yang mengeluhkan kondisi umat yang semakin jauh dari tuntunan agamanya
dlsb.
Setelah semua tamunya berkesempatan menyampaikan uneg-uneg mereka,
Pak Kiai minta ijin tamunya untuk mengambilkan kopi di belakang –
saking sederhananya Pak Kiai ini sampai tidak memiliki pembantu. Tidak
lama kemudian Pak Kiai datang dengan membawa teko panas berisi kopi,
didampingi istrinya yang membawakan sejumlah cangkir.
Karena kesederhaannya pula di antara
cangkir-cangkir tersebut tidak ada yang sama bentuk, model maupun
ukurannya. Menyadari akan adanya rasa penasaran para tamunya, Pak
Kiai-pun menjelaskan : “Anu, itu cangkir-cangkir yang ditinggalkan para
santri yang sudah lulus dan keluar dari pesantren ini…”. Kemudian dia
menyilahkan tamunya : “Silahkan ambil sendiri kopinya…”.
Setengah berebut, para tamunya memilih
cangkir-cangkir yang paling baik untuk mengambil kopinya. Jumlah cangkir
memang cukup dan semuanya mendapatkan cangkirnya, tetapi tentu saja
yang duluan yang mendapatkan cangkir yang paling bagus.
Sambil memperhatikan tamunya menikmati kopi dari
beraneka ragam cangkir, Pak Kiai –pun siap memberikan satu solusi untuk
seluruh keluhan dan masalah yang disampaikan oleh tamu-tamu tersebut.
“Dari apa yang saya dengarkan tadi, dan dari
cangkir-cangkir kopi yang kalian pegang – masalah kalian sebenarnya
sederhana”. Dia melanjutkan : “Selama ini terasa rumit, karena kalian
fokus pada cangkirnya bukan pada kopinya”. “Yang kalian butuhkan kopi
karena yang meredakan dahaga adalah kopi – sedangkan cangkir hanyalah
alat untuk bisa minum kopi”. “Bila kalian terlalu fokus pada alat,
kalian tidak akan sampai pada tujuan….”
“Sekarang fokuslah pada kopi kalian, maka cangkir
yang berwarna-warni beraneka bentuk tidak akan mengganggu kenikmatan
kopi kalian…!”
Lalu Pak Kiai membacakan surat Ad Dzariyat – ayat 56 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
Lalu beliau menutup nasihat pada para tamunya : “Selama
kalian tidak kehilangan fokus pada tujuan hidup kalian yaitu menyembah
kepadaNya, selama kalian hanya mengajak masyarakat kalian untuk
menyembah kepadaNya, insyaallah kalian tidak akan terganggu oleh aneka
persoalan, kepentingan, golongan, pemikiran, partai dan sejenisnya.”
Para tetamu hanya manggut-manggut sambil
menginstrospeksi diri, mereka mengurai permasalahan mereka masing-masing
di dalam hati. Dalam hati pula sebagian mereka berkata: “Jadi selama
ini kita berebutan cangkir, sampai melupakan kopinya sendiri.”
Kita ini sesungguhnya seperti para tetamu Pak Kiai
tersebut, kita terlalu fokus pada cangkir sehingga malah tidak bisa
menikmati kopinya. Pekerjaan kita, usaha kita, komunitas kita dan bahkan
juga keluarga kita sesungguhnya hanya cangkir berbagai bentuk tadi.
Kopinya adalah tugas kita untuk hanya beribadat kepada Nya.
Boleh saja membagus-baguskan cangkir tetapi tetap
harus dalam rangka untuk dipakai menikmati kopi. Semangat membaguskan
cangkir tidak boleh melalaikan kita sampai lupa tidak mengisinya dengan
kopi. Cangkir-cangkir tersebut juga bukan pajangan, yang dinikmati
keindahannya tetapi tidak digunakan untuk fungsi yang seharusnya – yaitu
minum kopi.
Sekarang waktunya untuk belajar menikmati rasa
‘kopi’ itu, keindahan cangkir bisa menambah kenikmatannya – tetapi
jangan melalaikannya. InsyaAllah.*
sumber : hidayatullah
Labels:
agama,
Islamku,
kisah hikmah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment