Friday, 8 June 2012
Ini Dia, Resepsi Pernikahan di Gaza (Palestina)
(Kamis, 19/4/2012-red) Tim Sahabat Al-Aqsha (SA2Gaza) diajak seorang sahabat menghadiri sebuah resepsi pernikahan (walimatul ‘urs). Pesta itu berlangsung sederhana, ringkas, cepat, praktis, dan sangat khidmat. Hanya 15 menit, sejak kami datang sampai pulang.
Acaranya berlangsung di sebuah aula sewaan bernama Shalah Adam
di tengah kota Gaza. Sewa tempat itu seharga kurang lebih USD 600
(kurang dari 6 juta rupiah) dari siang sampai malam. Begitu sampai, kami
disambut para lelaki dari kedua mempelai yang berbaris di depan pintu
masuk, termasuk pengantin lelakinya (disebut ‘aris), menerima salam.
Wah, praktis juga nih… jadi tidak perlu antre salaman di pelaminan
seperti pernikahan di Indonesia. Di Indonesia, orang-orang tua yang
sudah sepuh pun masih dipaksa antre panjang mengular untuk menyalami
pengantin di pelaminan.
Sesudah salaman di pintu masuk, kami diberi sekaleng minuman bersoda
dan sebingkis hadiah berbentuk kubus, dibungkus dengan kertas perak. Apa
isinya? Bikin penasaran.
Lalu Abu Adam yang mengajak kami, membawa kami duduk di meja terdepan. Posisinya paling dekat dengan pelaminan, dan loudspeaker besar persis terletak di telinga kiri kami. Suara Samy Yusuf bershalawat terus memenuhi ruangan.
Ini acara khusus laki-laki. Tidak ada perempuan seorang pun juga di
seluruh ruangan. Acara resepsi pernikahan khusus untuk perempuan baru
akan dilakukan malam harinya. Bagus banget, jadi nggak perlu ada ikhtilat (campur aduk) lelaki perempuan yang bisa menyebabkan zina mata.
Lagi pula, laki-laki normal mestinya nggak suka kalau pengantin putrinya (‘arus)
jadi tontonan mata ratusan lelaki lain. Jadi, pengantin putri
benar-benar milik pengantin putra, sebaliknya juga begitu. Berkah!
Tak lama kemudian, seorang pria berbadan tegap, gagah, mengenakan
setelan cokelat muda tanpa dasi, berkemeja putih, berbicara dengan
mikrofon. Bersamaan dengan itu, pengantin pria maju dan duduk di
pelaminan didampingi ayah dan mertuanya. Kelihatan tampan dengan setelan
hitam, berdasi hitam putih, dengan rambut mengkilat dilumuri gel.
Ayah dan ayah mertuanya mengenakan setelan jas berwarna sama, biru
muda keabu-abuan. Ayah mertua mengenakan kopiah haji berwarna putih.
Kami mengira, pria yang memegang mikrofon cuma pembawa acara.
Ternyata dialah pengisi acara utama di resepsi itu. Dimulainya acara itu
dengan membaca ta’awudz (a’uudzubillaahi minasy-syaithaanir-rajiim) dan basmalah.
Lalu sepanjang lima sampai tujuh menit berikutnya ia membacakan ayat
dan hadits tentang pernikahan, sebagai bagian penting dari adab Islam.
“Sebuah jalan menuju cinta sejati,” katanya.
“Pernikahan memperkuat hubungan masyarakat menjadi masyarakat kokoh,
terutama dalam melaksanakan Islam dan menghasilkan generasi baru para
Mujahidin dan Murabithin,” katanya menutup taushiyah.
Seusainya taushiyah singkat diberikan, pria itu mengumumkan
aqad nikah sudah dilakukan pagi harinya. Nama pengantin pria dan
perempuan disebutkan, begitu juga nama keluarga besarnya masing-masing.
Sesudah itu acara ditutup, dan serentak 200an orang yang hadir berdiri, saling bersalaman, lalu pulang ke rumah masing-masing.
Berbeda dengan pernikahan yang berlangsung di tengah kota Gaza ini,
minggu lalu kami diajak hadir di pesta pernikahan yang bergaya kampung.
Sebuah jalan di depan rumah ditutup, dipasangi tenda besar. Tak ada
seorang perempuan pun. Acara perempuan di tempat terpisah tapi pada
waktu yang sama.
“Di tempat perempuan, karena tertutup, hampir semua yang hadir
melepas jilbabnya. Hanya yang bercadar yang melepas cadar tapi tetap
mengenakan jilbab,” kata anggota Tim kami yang perempuan.
Berbeda dengan yang di kota, resepsi di kampung Zatun, dekat Rafah,
Gaza Selatan itu, menyediakan makan besar. Sebungkus nasi briyani pedas
dengan bongkahan-bongkahan daging sapi panggang yang besar-besar untuk
dimakan berdua atau bertiga. Mmm….
Abu Adam menjelaskan kepada kami sambil tersenyum, “Intinya resepsi dalam Islam itu adalah i’lan-nya (pengumumannya), bahwa pasangan itu sudah halal berdua-duaan, sehingga tidak ada fitnah. Berkah juga melimpah.”
Uang yang ada memang sebaiknya digunakan untuk memulai rumah tangga,
bukan untuk dibuang-buang lewat pesta yang berlebihan. Abdillah Onim,
relawan MER-C Indonesia yang tahun lalu menikahi gadis Gaza, mengaku
membayar mahar USD 3000 (kurang sedikit dari 30 juta rupiah).
“Tapi seluruh biaya persiapan rumah tangga yang saya keluarkan
sekitar 90 juta rupiah,” kata Abdillah. Dan keduanya kini sedang
menunggu kelahiran anaknya yang pertama.
Oh ya, hampir lupa, bingkisan dengan kertas perak untuk hadirin tadi,
saat kami buka isinya sebentuk mangkok kaca yang cantik, dan sekantong
plastik berisi tiga butir permen kacang. Asyiiik…
sumber : salam-online.com
Labels:
agama,
Islamku,
kisah nyata,
palestina
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment